G 30 S/PKI

Gerakan 30 September
1965/PKI
Di masa demokrasi terpimpin, PKI memperoleh kesempatan yang besar untuk meraih cita-citanya. PKI bercita-cita mengubah negara kesatuan yang berdasarkan Pancasila dengan negara yang berideologi komunis. D.N. Aidit sebagai pimpinan PKI mendukung konsep demokrasi terpimpin yang berporoskan Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom).

Keadaan Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya Sebelum Terjadinya Peristiwa G 30 S/PKI
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ideologi Pancasila menghadapi berbagai tantangan besar sejak tahun 1959, ketika Demokrasi Terpimpin dilaksanakan. Pada waktu itu terjadi ketegangan sosial politik yang menjadi-jadi. Kondisi politik menjadi panas karena antarpartai politik saling mencurigai, antara partai politik dengan ABRI serta antara keduanya dengan Presiden. Mereka saling bersaing untuk saling berebut pengaruh atau mendominasi. Begitu pula pada masa Demokrasi Terpimpin kondisi ekonomi sangat memprihatinkan hingga muncul krisis ekonomi nasional. Prinsip Nasakom yang diterapkan waktu itu memberi peluang kepada PKI dan organisasi pendukungnya untuk memperluas pengaruhnya. Dalam memanfaatkan peluang tersebut PKI menyatakan sebagai partai pejuang bagi perbaikan nasib rakyat dengan janji-janji seperti kenaikan gaji atau upah, pembagian tanah dan sebagainya. Oleh karena itu PKI banyak mendapatkan pengaruh dari para petani, buruh kecil atau pegawai rendah sipil maupun militer, seniman, wartawan, guru, mahasiswa, dosen, intelektual, dan para perwira ABRI. Kondisi politik dan ekonomi yang semakin tegang berdampak pada sosial budaya masyarakat. PKI dan para pendukungnya yang semakin mendapat pengaruh sering mengancam dan melakukan tindak kekerasan lainnya. Hal ini seperti yang dialami oleh para pemuda yang tergabung dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Ketika sedang melakukan pelatihan di Kanigoro Kediri Jawa Timur pada bulan Januari 1965, para pendukung PKI menyerbu peserta pelatihan. Tindakan serupa juga dilakukan terhadap umat Hindu di Bali yang sedang melakukan kegiatan keagamaan. Tindakan PKI ini akhirnya juga dibalas oleh para kelompok yang anti PKI sehingga masyarakat menjadi semakin resah karena seringkali terjadi pertikaian fisik. Pengaruh PKI yang sangat besar dalam bidang politik berdampak luas terhadap kebijakan pemerintah di semua bidang. Dalam bidang sosial budaya semua organisasi yang anti PKI dituduh sebagai anti pemerintah. Para seniman yang tergabung dalam kelompok Maniesto Kebudayaan (Manikebu) dibubarkan oleh pemerintah pada bulan Mei 1964. Badan Pendukung Sukarno (BPS) juga dibubarkan oleh pemerintah pada bulan Desember 1964 karena menentang PKI.

A. Tahap Persiapan
PKI melakukan berbagai kegiatan untuk memperoleh simpati dan dukungan luas dari pemerintah dan masyarakat. Kegiatan yang dilakukan antara lain sebagai berikut.
-Mengirim sukarelawan dalam konfrontasi dengan Malaysia.
-Melakukan “aksi sepihak” tahun 1963, terutama di Jawa, Bali dan Sumatera Utara dengan membagikan tanah kepada petani.
-Melakukan demonstrasi, menuntut kenaikan upah di pabrik-pabrik, perusahaan, dan perkebunan.
-Memberikan latihan politik dan militer kepada anggota pemuda rakyat dan gerwani. PKI akhirnya menuntut pemerintah agar membentuk angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh, petani, dan nelayan yang dipersenjatai.
-Menghancurkan lawan politiknya dengan jalan mendukung pemerintah untuk membubarkan Masyumi, Murba, Manikebu (Manifesto Kebudayaan).
-Menyebarkan isu tentang adanya Dewan Jenderal dalam Angkatan Darat yang akan mengambil alih kekuasaan secara paksa dengan bantuan Amerika Serikat. Tuduhan ini dibantah oleh Angkatan Darat. Sebaliknya, Angkatan Darat menuduh PKI yang akan melakukan kudeta.

B. Tahap Pelaksanaan
Berita tentang semakin memburuknya kesehatan Presiden Soekarno menimbulkan ketegangan di kalangan pemimpin politik nasional. Ketegangan ini mencapai puncaknya pada pemberontakan tanggal 30 September 1965. Pada dini hari di penghujung bulan September 1965 terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira Angkatan Darat yang dipimpin langsung oleh Letkol Untung (Komandan Batalyon I Cakrabirawa). Operasi itu dibantu oleh satu batalyon dari Divisi Diponegoro, satu batalyon dari Divisi Brawijaya, dan orang sipil dari pemuda rakyat. Para perwira tinggi yang diculik dan dibunuh adalah:
-Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat.
-Mayor Jenderal R. Suprapto (Deputi II Pangad).
-Mayor Jenderal M.T. Haryono (Deputi III Pangad).
-Mayor Jenderal S. Parman (Asisten I Pangad).
-Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan (Asisten IV Pangad).
-Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat).

Dalam peristiwa tersebut Jenderal Abdul Haris Nasution yang menjabat sebagai Menteri Kompartemen Hankam/ Kepala Staf Angkatan Darat berhasil meloloskan diri dari pembunuhan akan tetapi putri beliau, Irma Suryani Nasution tewas akibat tembakan para penculik. Letnan Satu Pierre Andreas Tendean, ajudan Jenderal Nasution juga tewas dalam peristiwa tersebut. Selain itu Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun, pengawal rumah Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena juga menjadi korban keganasan PKI. Peristiwa pembunuhan oleh G 30 S/ PKI yang terjadi di Yogyakarta mengakibatkan gugurnya dua orang perwira TNI AD yakni Kolonel Katamso Dharmokusumo dan Letnan Kolonel Sugiyono. Pada hari Jum’at pagi tanggal 1 Oktober 1965 “Gerakan 30 September “ telah menguasai dua buah sarana komunikasi vital, yakni studio RRI Pusat di Jalan Merdeka Barat, Jakarta dan Kantor PN Telekomunikasi di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI pagi itu pukul 07.20 dan diulang pada pukul 08.15 disiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September. Diumumkan antara lain bahwa gerakan ditujukan kepada jenderal- jenderal anggota Dewan Jenderal yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Dengan pengumuman ini maka masyarakat menjadi bingung. Menghadapi situasi politik yang panas tersebut Presiden Sukarno berangkat menuju Halim Perdanakusumah, dan segera mengeluarkan perintah agar seluruh rakyat Indonesia tetap tenang dan meningkatkan kewaspadaan serta memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Mayor Jenderal Suharto selaku Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD) mengambil alih komando Angkatan Darat, karena belum adanya kepastian mengenai Letnan Jenderal Ahmad Yani yang menjabat Menteri Panglima Angakatan Darat. Dengan menghimpun pasukan lain termasuk Divisi Siliwangi, dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edi Wibowo, panglima Kostrad mulai memimpin operasi penumpasan terhadap Gerakan 30 September. Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam operasi ini sebagai berikut.

(1) Pada tanggal 1 Oktober 1965 operasi untuk merebut kembali RRI dan Kantor Telkomunikasi sekitar pukul 19.00. Dalam sekitar waktu 20 menit operasi ini berhasil tanpa hambatan. Selanjutnya Mayor Jenderal Soeharto selaku pimpinan sementara Angkatan Darat mengumumkan lewat RRI yang isinya sebagai berikut.
(a) Adanya usaha usaha perebutan kekuasaan oleh yang menamakan dirinya Gerakan 30 September.
(b) Telah diculiknya enam tinggi Angkatan Darat.
(c ) Presiden dan Menko Hankam/Kasab dalam keadaan aman dan sehat.
(d) Kepada rakyat dianjurkan untuk tetap tenang dan waspada.

(2) Menjelang sore hari pada tanggal 2 Oktober 1965 pukul 06.10 operasi yang dilakukan oleh RPKAD yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhi Wibowo dan Batalyon 328 Para Kujang. Operasi ini berhasil menguasai beberapa tempat penting dapat mengambil alih beberapa daerah termasuk daerah sekitar bandar udara Halim Perdanakusumah yang menjadi pusat kegiatan Gerakan 30 September.

(3) Dalam operasi pembersihan di kampung Lubang Buaya pada tanggal 3 Oktober 1965, atas petunjuk seorang anggota polisi, Ajun Brigadir Polisi Sukitman diketemukan sebuah sumur tua tempat jenazah para perwira Angkatan Darat dikuburkan. Mereka yang menjadi korban kebiadaban PKI tersebut mendapat penghargaan sebagai pahlawan revolusi.

Ketika gerakan 30 September ini menyadari tidak adanya dukungan dari masyarakat maupun anggota angkatan bersenjata lainnya, para pemimpin dan tokoh pendukung Gerakan 30 September termasuk pemimpin PKI D.N. Aidit segera melarikan diri. Dengan demikian masyarakat semakin mengetahui bahwa Gerakan 30 September yang sebenarnya melakukan pengkhianatan terhadap negara ini.

C. Menumpas Gerakan 30 September 1965/PKI
Operasi penumpasan G 30 S/PKI dilancarkan pada tanggal 1 Oktober 1965. Mayor Jenderal Soeharto yang menjabat Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) mengambil alih komando Angkatan Darat karena Menteri Panglima Angkatan Darat (Letjend Ahmad Yani) belum diketahui nasibnya. Panglima Kostrad memimpin operasi penumpasan terhadap G 30 S/PKI dengan menghimpun pasukan lain, termasuk Divisi Siliwangi, Kavaleri, dan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo. Studio RRI pusat, gedung besar telekomunikasi dapat direbut kembali. Operasi diarahkan ke Halim Perdana Kusuma. Halim Perdana Kusuma dapat dikuasai pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhi Wibowo pada tanggal 2 Oktober 1965. Karena tidak ada dukungan dari masyarakat dan anggota angkatan bersenjata lainnya, para pemimpin dan tokoh pendukung G 30 S/PKI termasuk pemimpin PKI D.N. Aidit melarikan diri. Atas petunjuk Sukitman (seorang polisi), diketahui bahwa perwira-perwira Angkatan Darat yang diculik dan dibunuh telah dikuburkan/ditanam di Lubang Buaya. Pada tanggal 3 Oktober 1965, ditemukan tempat kuburan para jenderal itu. Pengambilan jenazah dilakukan pada tanggal 4 Oktober 1965 oleh RPKAD dan Marinir. Seluruh jenderal korban G 30 S/PKI dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto untuk dibersihkan dan disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat. Keesokan harinya bertepatan dengan hari ulang tahun ABRI, 5 Oktober 1965 para jenasah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Mereka diberi gelar Pahlawan Revolusi. Untuk mengikis habis sisa-sisa G 30 S/PKI dilakukan operasi-operasi penumpasan, yakni sebagai berikut.
-Operasi Merapi di Jawa Tengah dilakukan RPKAD dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhi Wibowo.
-Operasi Trisula di Blitar Selatan dilakukan Kodam VIII/Brawijaya yang dipimpin Mayjen M. Yasin dan Kolonel Witarmin.
-Operasi Kikis di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Upaya Penumpasan G 30 S/PKI dari Aspek Militer
Untuk menumpas kekuatan PKI, pemerintah melancarkan operasi militer. Setelah berhasil menghimpun pasukan lain termasuk Divisi Siliwangi dan Kaveleri, Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang dipimpin Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, Panglima Kostrad, mulai memimpin operasi penumpasan.
A. Pada tanggal 1 Oktober 1965, beberapa tempat penting seperti RRI dan Telkom telah dapat
diambil alih oleh pasukan RPKAD tanpa pertumpahan darah.
B. Pada hari yang sama, Mayjen Soeharto mengumumkan beberapa hal penting berikut
melalui RRI.
1) Penumpasan G 30 S/PKI oleh angkatan militer.
2) Dewan Revolusi Indonesia telah demisioner.
3) Menganjurkan kepada rakyat agar tetap tenang dan waspada.
C. Pada tanggal 2 Oktober 1965 pasukan RPKAD berhasil menguasai kembali Bandara Halim Perdana kusuma.
D. Pada tanggal 3 Oktober 1965, atas petunjuk anggota polisi yang bernama Sukitman berhasil ditemukan sumur tua yang digunakan untuk menguburkan jenazah para perwira AD.
E. Pada tanggal 5 Oktober 1965, jenazah para Jenderal AD dimakamkan dan mendapat
penghargaan sebagai Pahlawan Revolusi.

Untuk menumpas G 30 S/PKI di Jawa Tengah, diadakan operasi militer yang dipimpin
oleh Pangdam VII, Brigadir Suryo Sumpeno. Penumpasan di Jawa Tengah memakan waktu
yang lama karena daerah ini merupakan basis PKI yang cukup kuat dan sulit mengidentifikasi
antara lawan dan kawan. Untuk mengikis sisa-sisa G 30 S/PKI di beberapa daerah dilakukan
operasi-operasi militer berikut:
A.     Operasi Merapi di Jawa Tengah oleh RPKAD di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo.
B.     Operasi Trisula di Blitar Selatan dipimpin Kolonel Muh. Yasin dan Kolonel Wetermin.
C.   Akhirnya dengan berbagai operasi militer, pimpinan PKI D.N. Aidit dapat ditembak mati di Boyolali dan Letkol Untung Sutopo ditangkap di Tegal.

Dengan adanya operasi-operasi di atas, para pemimpin/tokoh-tokoh PKI dapat ditangkap sekaligus ditembak mati. Operasi penumpasan itu mengakibatkan kekuatan PKI dapat dilumpuhkan. Dalam rangka menyelesaikan Gerakan 30 September, pada tanggal 6 Oktober 1965 Presiden Soekarno mengadakan sidang paripurna Kabinet Dwikora. Dalam sidang tersebut Presiden Soekarno menyatakan sikapnya demikian:
“Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar
Revolusi, Bung Karno menandaskan bahwa mengutuk
pembunuh-pembunuh buas yang dilakukan oleh petualang-
petualang kontra revolusi dari apa yang menamakan
diri Gerakan 30 September. Tidak membenarkan pembentukan
apa yang dinamakan Dewan Revolusi. Hanya
saya yang bisa mendemisioner kabinet dan bukan orang
lain.”

D. Kesatuan aksi dalam menumbangkan Orde Lama

Aksi yang dilakukan oleh Gerakan 30 September segera mendapat perlawanan dan reaksi keras dari masyarakat yang menemukan bukti keterlibatan PKI dalam gerakan tersebut. Akhir Oktober 1965, persatuan aksi yang dibentuk para mahasiswa, pelajar, dan berbagai organisasi lainnya menuntut pemerintah untuk membubarkan PKI dan organisasi pendukungnya. Pemerintah tidak segera menanggapi tuntutan masyarakat dan Nasakom tetap dijadikan prinsip kegiatan politik nasional. Kesatuan aksi pada tanggal 26 Oktober 1965
membentuk satu front, yaitu “Front Pancasila”. Gelombang demonstrasi menuntut dibubarkannya PKI di berbagai daerah. Hal itu menjurus ke arah konflik politik yang mengakibatkan korban jiwa yang besar di dalam masyarakat, terutama di Jawa, Bali, dan Sumatera Utara.. Pada tanggal 10 Januari 1966, kesatuan aksi yang tergabung dalam “Front Pancasila” melakukan demonstrasi di muka gedung DPR-GR. Mereka mengajukan tiga tuntutan hati nurani rakyat yang dikenal dengan nama “Tritura” (Tiga Tuntutan Rakyat). Isi Tritura adalah sebagai berikut.
-Bubarkan PKI.
-Bersihkan kabinet dari unsur-unsur G 30 S/PKI.
-Turunkan harga barang.
Aksi menentang PKI ditunjukkan saat pelantikan anggota Kabinet Dwikora yang disempurnakan pada tanggal 24 Februari 1966. Para demonstran menggelar aksi untuk menggagalkan peresmian kabinet. Dalam bentrokan di depan Istana Merdeka, seorang mahasiswa yang bernama Arief Rachman Hakim gugur terkena tembakan resimen Cakrabirawa. Pada tanggal 25 Februari 1966, Presiden Soekarno membubarkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).

E.  Dampak Sosial Politik dari Peristiwa G 30 S/PKI
Berikut ini dampak sosial politik dari G 30 S/PKI.
a. Secara politik telah lahir peta kekuatan politik baru yaitu tentara AD.
b. Sampai bulan Desember 1965 PKI telah hancur sebagai kekuatan politik di Indonesia.
c. Kekuasaan dan pamor politik Presiden Soekarno memudar.
d. Secara sosial telah terjadi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang PKI atau”dianggap PKI”, yang tidak semuanya melalui proses pengadilan dengan jumlah yang relatif banyak.

3 comments: